Sabtu, 06 Februari 2010

AL-TAHTAWI

AL-TAHTAWI

A. Pendahuluan

Tahun 1798 adalah saat Napoleon Bonaparte menginjakkan kaki di Mesir. Tahun itu sangat bersejarah. Bernard Lewis menyebutnya sebagai a watershed in history dan the first shock to Islamic complacency, the first impulse to westernization and reform (Lewis1964:34). Para ahli sejarah sepakat, kedatangan Bonaparte di Mesir merupakan tonggak penting bagi kaum Muslim dan juga bagi bangsa Eropa.

Bagi kaum Muslim, kedatangan itu membuka mata betapa tentara Eropa yang modern mampu menaklukkan dan menguasai jantung Islam. Bagi orang Eropa, kedatangan itu menyadarkan betapa mudah menaklukkan sebuah peradaban yang di masa silam begitu berjaya dan sulit ditaklukkan.

Begitu penting 1798. Albert Hourani, sejarawan Inggris keturunan Lebanon, menjadikannya awal era liberal bagi bangsa Arab dan kaum Islam. Seperti yang ia jelaskan dalam bukunya, Arabic Thought in the Liberal Age, kedatangan Bonaparte ke Mesir bukan sekadar penaklukan militer, melainkan juga awal kebangkitan kesadaran kaum Muslim akan diri mereka.

Menarik dicatat, Hourani menggunakan era liberal untuk merujuk masa kebangkitan Islam di dunia modern. Kata liberal di sini ialah sebuah kondisi dan suasana di mana kaum Muslim bebas mengartikulasikan kesadaran budaya dan peradaban mereka. Dalam konteks Eropa, liberal mengacu kepada situasi kebangkitan dan pencerahan. Itu sebab ketika karya Hourani itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, yang digunakan untuk liberal age adalah asr al-nahdah yang berarti ‘era kebangkitan’ (judul lengkapnya al-fikr al-arabi fi asr al-nahdah). Menurut Hourani, era liberal di dunia Arab terentang dalam (1798- 1939). Tahun 1939 merujuk kepada pecahnya Perang Dunia II dan dimulainya kiprah politik Ikhwanul Muslim di Mesir. Selama rentang itu dasar pemikiran seperti kemajuan, modernitas, kebebasan, dan persamaan dibincangkan secara luas.

Para pembaharu awal seperti al-Tahtawi, al-Tunisi, dan al-Kawakibi menyadari betul kondisi kaum Muslim yang terbelakang. Perhatian utama mereka: bagaimana mengubah keadaan ke arah lebih baik. Mereka selalu membenturkan kondisi keterbelakangan kaum Muslim dengan kemajuan Eropa. Persis seperti yang dipertanyakan Abd al-Rahman al-Kawakibi dalam bukunya, limadza taakhkhara al-muslimun wa limadza taqaddama ghayruhum (mengapa kaum Muslim mundur dan mengapa bangsa lain maju?).

Seluruh pemikiran dan gagasan yang dikemukakan para pembaharu Islam abad ke-19 berputar pada upaya menjawab pertanyaan di atas. Adalah ironis, peradaban yang pada masa silam memiliki sejarah gemilang dan kitab sucinya mewartakan “umat terbaik di dunia” (khayru ummatin ukhrijat linnas) berada pada titik nadir peradaban. Bukan hanya berada dalam keterbelakangan, mereka juga dalam penjajahan bangsa lain. Mesti ada satu sebab utama mengapa kaum Muslim terbelakang dan mengapa bangsa Eropa maju?

Rifa’a al-Tahtawi (1801-1873) adalah salah satu tokoh pembaharu pertama yang mencoba menjawab pertanyaan itu. Menurut al-Tahtawi, kunci pertanyaan itu adalah “kebebasan” (hurriyyah). Bangsa Eropa maju karena memiliki kebebasan. Temuan sains dan teknologi di Eropa sejak abad ke-16 didorong oleh suasana kebebasan dalam masyarakat itu. Tahtawi menganggap kebebasan bukan hanya kunci bagi kebahagiaan, tapi juga bagi keamanan dan kesejahteraan.[1]

Sebab utama keterbelakangan kaum Muslim, menurut Tahtawi, ialah ketiadaan kebebasan itu. Ini sudah terjadi sejak kerajaan Islam di Baghdad (abad ke-12) dan Cordova (abad ke-15) runtuh. Sebaliknya, kebebasan berpikir yang dalam istilah agama dikenal dengan ijtihad justru dimusuhi dan diharamkan. Selama rentang abad ke-15-ke-19, wacana pemikiran Islam diwarnai dengan semangat menutup pintu ijtihad.

B. Riwayat Rafa'at Tahtawi

Al-Tahtawi nama lengkapnya adalah Rafa`ah Bey Badawi Al-tahtawi, lahir di kota Tahta ( di dataran tinggi Mesir ) pada masa pemerintahan Muhammad ali, yaitu pada tahun 1802 M. Orang tuanya dari kaum bangsawan, tetapi sedikit pengalaman. Namun keluarganya yang tradisi keagamaannya kuat itu menjadikan al-Tahtawi tekun mempelajari Al-Qur'an sejak kecil[2].

Ketika dewasa ( 16 tahun ) ia berangkat ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar, dibawah pengawasan atau bimbingan syekh Hassan Al-Attar. Al-Tahtawi adalah murid kesayangnya. Setelah lima ia mendapat menyelesaikan studinya ( 1822 M ) Hasan Al-Attar banyak hubungan dengan para ilmuwan Perancis yang dating dengan Napoleon ke Mesir.

Karena ketekunan dan ketajaman pikiran Al-Tahtawi, gurunya ( syekh Al-Attar) selalu memberikan dorongan agar selalu menambah ilmu pengetahuan.

Selesai studi di Al-Azhar, Al-Tahtawi mengajar di Universitas tersebut selam 2 Tahun. Dan pada tahun 1824 M dapat juga raih gelar " Master " pada Egyptian Army di Mesir. Pada tahun itu pula, diangkat menjadi imam bagi mahasiswa-mahasiswa yang dikirim oleh Muhammad Ali ke Jomard di paris, untuk bahasa Perancis dan ilmu-ilmu modern. Tetapi disamping tugasnya sebagai imam, ia juga ikut belajar.

Selama 5 tahun di Paris, ia kursus privat bahasa Perancis, sehingga dalam waktu lima tahun itu, ia mampu menerjemahkan sejumlah 12 buku dan risalah, diantaranya risalah tentang sejarah Alexander Macedonia, buku-buku mengenai pertambangan, ilmu bumi, akhlak dan adat istiadat berbagai bangsa, risalah tentang ilmu teknik, hak-hak manusia, kesehatan jasmani dan sebagainya[3].

Selama di Paris, Al-Tahtawi menghabiskan waktunya untuk membaca berbagai macam buku ilmu pengetahuan.

Sekembalinya dari paris pada tahun 1832 M ke Mesir, ia diangkat sebagai penerjemah dan sebagai guru Besar pada sekolah kedokteran perancis di Kairo.

Dua tahun kemudian ( 1835 ), ia pindah ke sekolah Artelery sebagai penterjemah ( direktur ) buku-buku ilmu teknik dan kemiliteran. Setahun kemudian ( 1836 ) didirikan sekolah penerjemah ( Sechool of Foreign Languages ) atau Sekolah Bahasa-bahasa Asing" dan Al-Tahtawi sebagai direktur dan sebagai penanggung jawab harian " Al Waqa`al Mishriah ".

Setelah Muhammad Ali meninggal ( 1848 ) maka cucunya Abbas sebagai gantinya, dan Al-Tahtawi kemudian dikirim ke Sudan sebagai kepala sekolah di Kartoum. Setelah Abbas meninggal ( 1854 ) Al-Tahtawi kembali ke Mesir atas panggilan pengganti Abbas, yaitu Said Pasya, ia diangkat sebagai direktur sekolah Militer.

Pada tahun 1863 M di Mesir dibentuk suatu badan yang bertugas menterjemahkan undang-undang Perancis dan bermarkas di kantor yang namanya " Translation Office " dan Al-Tahtawi menerbitkan majalah " Raudatul Madaris " untuk " Munistry of Education ".

Al tahtawi sekembalinya dari mesir telah menterjemahkan buku-buku di antaranya buku-buku tentang geografi, sejarah ( Raja-raja Perancis, Raja-raja Charles XI, Charles V, filsafat Yunani ) dan Montesque dan Al Tahtawi juga menulis buku-buku yang diterbitkan ( berupa tulisan atau karangan).

Di atara karangan-karangan Al Tahtawi adalah :

1) Takhlisul Ibriz fi Talkhish Pariz

2) Manhij al Albab al Mishriyah fi Manahijj al Adab al` Ashriyah.

3) Al Mursyid al Amin lil banat wa al banin

4) Al- Qaul al Said fi Ijtihad wa al Taqlid

5) Anwar Taufiq al jalil fi Akhbar Mishar wa Tautsiq Bani Ismail

6) Al-Mazahib al Arba`ah fi al Fiqh.

7) Qanun al Tijari

8) Al Tuhfat al Maktabiyah fi al Nahw

9) Al Manafi` al Uminyah

Buku-buku karangannya tersebut, bagi pembaca yang menelusinya dapat merasakan bahwa si punulis sedang berkelana menju dunia pengetahuan yang lebih luas, dibawaah kamondo pengetahuan yang kuat, menguasai jalan pikiranya. Ayat-ayat Al Qur'an dan Sunnah Rasul SAW. Menjadi terhujam, terpatri dalam hatinya.

Sehingga pengalaman dan keadaan masyarakat diwaktu itu tergugahhatinya untuk memikirkan dan menerapkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam usaha kearah kemajuan bangsanya. Hal-hal yang tidak disetujui dikemukakan secara berani, meskipun dia sendiri menyadari bahwa tindakannya dapat mengakibatkan sedikit kehebohan. Sehingga masih bersifat sederhana sesuai kondasi saat itu.

C. IDE-IDE AL TAHTAWI DALAM PEMBAHARUAN

  1. Bidang Pendidikan

Al Tahtawi semasa hidupnya banyak waktu yang dihabiskan untuk mengajar, dan mengatur pendidikan; Dia menemukan ide-ide mengenai pendidikan dalam buku yang ditulisnya. Dia menyatakan, bahwa pendidikan itu harus ada kaitannya dengan masalah-masalah masyarakat dan lingkungannya.

Pemikiran Al Tahtawi mengenai pendidikan ada dua pokok yang di nilai penting : pertama pendidikan yang bersifat universal dan emansipasi wanita. Pendidikan hendakmya bersifat universal dan sama bentuknya bagi semua golongan, selain itu bahwa masyarakat yang terdidik akan lebih muda dibina dan sekaligus dapat menghindari masing-masing dari pengaruh negatip. Pemikiran ini dinilai sebagai rintisan bagi pemikiran pendidikan yang bersifat demokratis. Kedua mengenai pendidikan bangsa. Menurutnya bahwa pendidikan bukan hanya terbatas pada kegiatan untuk mengajarkan pengetahuan, melainkan juga untuk membentuk kepribadian dan menenamkan patriotisme. Tanah air ialah tempat tinggal, tanah kelahiran yang dinikmati setiap warganya.

Untuk melengkapi pemikiran pendidikan Al Tahtawi dilengkapi juga ide pendidikannya dengan kurikulum yang dihubungkan kepentingan agama dan Negara. Kurikulum yang dirumuskan oleh Al Tahtawi adalah sebagai berikut : pertama kurikulum untuk tingkat pendidikan dasar terdiri atas mata pelajaran membaca, menulis yang sumbernya adalah Al-Qur'an, nahwu dan dasar-dasar berhitung. Kedua untuk tingkat menengah ( tajhizi ) terdiri atas : pendidikan jasmani dan cabang-cabangnya, ilmu bumi. Sejarah, mantiq, biologi, fisika, kimia, manajemen, ilmu pertanian, mengarang, peradaban, sebagian bahasa asing yang bermanfaat bagi Negara. Ketiga untuk menengah ats ( `aliyah ) mata pelajaran terdiri atas : mata pelajaran kejuruan. Mata pelajaran tersebut diberikan secara mendalam dan meliputi figh, kedokteran, ilmu bumi dan sejarah.

Pemikiran tentang pendidikan yang diterapkan oleh Al Tahtawi di tulis pada buku al-Mursyid al-Amin fi Tarbiyah al-Banin ( pedoman tentang pendidikan anak). Buku ini menerangkan tentang ide-ide pendidikan yang meliputi :

1. pembagian jenjang pendidikan atas tingkat permulaan, menengah, dan pendidikan tinggi akhir.

2. Pendidikan diperlukan, kerana pendidikan merupakan salah satu jalan untuk mencapai kesejahteraan .

3. pendidikan mesti dilaksanakan dan diperuntukan bagi segala golongan. Maka tidak ada perbedaan antara pendidikan anak laki-laki dan anak perempuan. Pemikiran mengenai persamaan antara laki-laki dan pendidikan anak perempuan ini dinilai sebgai mencontoh ide pemikiran Yunani.

Anak-anak perempuan harus memperoleh pendidikan yang sama dengan anak lelaki. Pendidikan terhadap perempuan merupakan suatu hal yang sangat penting karena tiga alasan, yaitu :

1. wanita dapat menjadi istri yang baik dan dapat menjadi mitra suami dalam kehidupan sosial dan intelektual.

2. Agar wanita sebagai istri memiliki keterampilan untuk bekerja dalamn batas-batas kemampuan mereka sebagai wanita.

Selanjutnya Al Tahtawi mengatakan bahwa dia menginginkan agar para perempuan mempunyai langka yang lebih baik dalam keluarganya. Karena tujuan pendidikan baginya, adalah untuk membentuk personality tidak hanya mengabdikan ilmu yang dimiliki tetapi dengan pendidikan itu akan tertanamkan penting kesejahteraan bagi keluarga dan merasakan keharusan.[4]

Peran aktif dari berbagai lapisan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan diperlukan dimajukan peradaban dengan bekal pendidikan yang menjadi hak seluruh warga Negara.

Di Mesir hak-hak wanita pada masa kurang medapat perhatian sehingga Al Tahtawi tergugah menulis buku : " Al Mursyid Al-Amin Al Banat wal Banin " .

2. Bidang Ekonomi

Pemerintah yang baik, adalah pemerintah yang dapat mengajukan ekonomi. Ekonomi yang maju kesejahteraan masyarakat dapat dijamin.

Menurut Al Tahtawi ekonomi Mesir, tergantung pada pertanian, ia memuji usaha di jalankan Muhammad Ali dalam lapangan ini. Juga ia menekankan pendapat ahli ekonomi Eropa mengatakan bahwa Mesir mempunyai potensi besar dalam lapangan ekonomi. Memajukan ekonomi, sejahteraan dunia akan tercapai. Hal ini, adalah baru karena tradisi dalam Islam untuk mementingkan kehidupan dunia[5].

Al Tahtawi menekankan bahwa pembangunan perekonomian Mesir diawali dengan kepedulian seluruh bangsa Mesir, sedangkan kunci adalah pendidikan yang akan menghasilkan tenaga ahli terampil dalam masyarakat.

Beberapa ide yang dikemukan Al Tahtawi mengenai bidang ekonomi, termuat dalam karya tulisannya " kitab Takhlish al Ibriz ila talkhis bariz " antara lain :

1. Aspek pertanian ; orang Mesir terdahulu terkenal kaya hanya tergantung pada tanah Mesir yang baik dan subur. Oeh karena itu bahwa, perlunya meningkatkan perbaikan bidang pertanian misalnya penanaman pohon kapas, Naila Anggur, zaitun, pemerilaharaan leba, ulat sutra, dan termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pertanian misalnya pupuk tanaman, irigasi yang cukup, sarana pengangkutan.

2. Dari aspek transportasi; perbaikan jalan yang menghubungkan dari satu tempat ke tempat lain, demikian juga jembatan dan pemasangan aat telekomunikasi untuk mempermudah

Buku atau karya At Tahtawi yang membahas secara rinci mengenai bidang ekonomi, bisa dilihat dalam " Al Manaf al Umumiyyah ". Didalam buku itu dinyatakan bagaimana orang-orang Egypt (Mesir) dahulu dapat berhasil dan sukses, dan kini kemudian akan hilang ? Bagaimana mengajar kembali untuk mendapatkan yang hilang itu.

3. Bidang Kesejahteraan

Kemajuan suatu Negara, ditandai meratanya kesejahteraan rakyat dan juga meningkatkan jegiatan perekonomian, sehingga stabilitas Negara dapat dicapai.

Sebagaimana diungkapkan oleh Tahtawi, dalam bukunya "Manahij" bahwa manusia pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu menjalankan perintah Tuhan dan mencari kesejahteraan didunia, sebagaimana yang dicapai oleh bangsa Eropa modern. Oleh karena itu, kesejahteraan umat Islam harus diperoleh atas dasar melakasanakan ajaran agama, berbudi pekerti baik dan ekonomi yang maju.[6]

Pemikiran Al Tahtawi ini, dilandasi oleh tiga hal; yaitu :

1) Mesir adalah negeri yang subur tanahnya merupakan Negara agraris, bahkan perekonomiannnya tergantung dari hasil pertanian.

2) Mesir mempunyai potensi yang besar dalam pembangunan ekonomi.

3) Mesir pada masa-masa fir'aun telah mencapai kejayaan dalam kesejahteraan rakyat dengan berpegang teguh peda akhlak yang mulia.

Kesejahteraan merupakan tanggung jawab bersama, antara rakyat dan pemerintah harus saling berkaitan. Kesejahteraan dodunia sangat erat hubungannya dengan kemajuan ekonomi. Sedang kemajuan ekonomi ditentukan oleh semangat kerja dan pengabdian. Al Tahtawi menggambarkam orang-orang yang malas bagaikan patung-patung kuno Mesir, bahkan [etung kuno mesir-pun masaih dapat dijadikan sumber informsi.

Jadi menurut Al Tahtawi "kesejahteraan"akan tercapai dengan dua jalan, yaitu perpegang pada ajaran agama serta budi pekerti yang baik dan kemajuan ekonomi.

4. Bidang Pemerintahan

Ide Al Tahtawi tentang Negara dan masyarakat, bukan hanya sekedar pandangan tradisional belaka, dan bukan pula hanya sebagai refleksi pengalaman dan pengetahuan yang telah didapatnya di Paris. Tetapi merupakan kopmbinasi dan persenyawaan dari keduanya. Dia mengemukakan contoh-contoh yang diteladani yaitu nabi Muhammad SAW. Dan para sahabat dalam melaksanakan pemerintahan yang mempunyai hak kekuasaan mutlak, yang dalam pelaksanaan pemerintahannya harus dengan adil berdasarkan undang-undang. Untuk kelancaran pelaksanaan undand-ondang itu harus ditangani oleh tiga badan yang terpisah yaitu Legislative, Executive dan judicative (Trias Politica Montesque).

Menurut Al tahtawi, masyarakat suatu Negara, terdori daro empat (empat) golongan; doa golonan yang memerintah, dua golongan yang lain diperintah. Dua golonan yang memerintah adalah raja dan para ulama (dua para ilmuan). Sedang dua golonan yang diperintah adalah tentara dan para produsen (termasuk semua rakyat).

Golongan yang diperintah (rakyat) ini, harus patuh dan setia kepada pemerintah . Meskipun sebenarnya, seorang raja hanya bertanggung jawab kepada Allah saja. Raja tidak boleh melupakan kepentingan rakyat. Raja harus senantiasa harus ingat kepada Allah dan siksaan yang disediakan bagi orang yang dzalim. Rasa takut seorang raja kepada Allah, akan membuat raja berlaku baik kepada rakyatnya. Selain takut kepada Allah, tindak tanduk raja selalu dikontrol oleh "pendapat umum". Oleh karena itu, antara yang memerintah yang diperintah harus ada hubungan yang baik. Di balik itu, orang-orang yang duduk dipemerintahan harus punya pendidikan yang tepat.[7]

Hubungan orang-orang pemerintahan dengan para ulama, harus serasi dan hidup berdampingan. Kepala Negara atau raja haruus hormat kepada ulama karena sebagai mitra dalam menjalankan roda pemerintahan. Demikian pula harus dapat mengaktualisasikan peran dan fungsi syariat dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian ulam harus menguasi perkembangan modern, membekali diri dengan sains modern dan berperan aktif dalam membantu kepala Negara, ikut bermunyawarah dalam menemukan kebijakan pemerintah.

Ide-ide Al Tahtawi ini dikemukakan agar dilaksanakan di Mesir, karena pada saat itu Mesir dikuasa pleh pemerintah yang absolute dibawah pemerintahan Muhammad Ali dan kemudian dilanjutkan oleh beberapa orang pasya.

5. Patrotisme

Al Tahtawi adalah orang Mesir yang pertama penganjur patriotisme. Paham bahwa seluruh dunia Islam adalah tanah air bagi setiap individu muslim, mulai di rubah penekannya. Al Tahtawi menekankan bahwa tanah air adalah tanah tumpah darah seseorang, bukan seluruh dunia Islam. Ia berpendapat bahwa selain adanya persaudaraan se-agama, juga ada persaudaraan setanah air. Dalam perkembangan dunia Islam selanjutnya persaudaraan tanah air ternyata lebih dominan.

Patriotisme adalah dasar yang kuat untuk mendorong orang mendirikan suatu masyarakat yang mempunyai pradaban. Kata " Wathan " dan " Hubul Wathan " ( patriotisme) kelihatannya selalu dipakai oleh Patriotisme adalah dasar yang kuat untuk mendorong orang mendirikan suatu masyarakat yang mempunyai pradaban. Kata " Wathan " dan " Hubul Wathan " ( patriotisme) kelihatannya selalu dipakai oleh Al-Tahtawi dalam bukunya " Manahaj" dan " Al-Mursyid ".

Mewujudkan masyarakat yang sejati dan patriotisme adalah bila setiap warga Negara punya hak kemerdekaan.

6. Ijtihad dan sain Modern

Memahami syari'at Islam menurut Al-Tahtawi merupakan sangat penting dan memiliki kesadaran bahwa syari'at pasti senantiasa up to date, cocok untuk segala zaman dan tempat.

orang yang mengerti serta memahami syari’at Islam, Al Tahtawi yakin akan pentingnya kesadaran bahwa syari’at pasti senantiasa up to date, cocok untuk segala zaman dan tempat. Untuk itu diperlukan usaha untuk menginterprestasi kembali syari’at kepada situasi yang baru, sesuai dengan kebutuhan hidup zaman modern.

Ulama yang dibutuhkan untuk membangun pemerintah yang kuat dan maju, adalah ulama yang ikut bertanggung jawab bersama kepala negara, ulama yang berpikir dinamis, memiliki pengetahuan luas dan menjauhi sikap statis agar mampu menginterprestasi kembali konsep agama sesual denga tuntutan zaman.

Sains dan pemikiran rasional pada dasarya tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Karena itu, ijtihad harus dilakukan oleh ulama. Ulama harus dapat merubah masyarakat yang berfikiran statis dan tradisional.

Dalam bukunya “Al Qaul al Sadid fi al ijtihad wa al Taqlid” menguraikan pentingnya ijtihad dan syarat-syarat menjadi mujtahid, serta dalil dalil dan tingkatan para mujtahid.[8]

Al Tahtawi meyakinkan dan menekankan kepada kaum muslimin Mesir dan para ulama Azhar agar menerima dan merasakan betapa pentingnya serta manfaatnya sains modern sebagaimana telah dikembangkan dan dimanfaatkan oleh orang Barat.

Ia mengatakan pada hakikatnya sains modern itu adalah dan hasil pemikiran kaum muslimin yang kemudian dikembangkan oleh Barat, yaitu dengan perantaraan terjemahan dan buku-buku yang di tulis orang Islam dalam bahasa Arab. Perkembangan sains dan teknologi disamping untuk neningkatkan upaya kualitas umat Islam dalam melakukan ijtihad, juga dapat menunjang kesejahteraan kehidupan kaum muslimin di dunia sebagaimana telah dikembangkan di Eropa.

Gagasan tersebut menjadi fokus penting dan pemikiran dan pembaharuan Al Tahtawi. Oleh karena itu, sebagian besar hidupnya disumbangkan untuk mendukung gagasannya dengan menerjemahkan buku buku agar umat Islam mengetahui budaya yang maju di Barat. Disamping sebagai penulis dan menjadi pimpinan dalarn beberapa pendidikan.[9]

Al Tahtawi dalam hal Satalisme ia mencela orang Paris karena mereka tidak percaya pada qadha’ dan qadar. Menurutnya, orang Islam harus percaya pada qadha’ dan qadar Tuhan, tetapi disamping itu harus berusaha. Manusia tidak boleh mengembalikan segala-galanya pada qadha’ dan qadar. Karena pendirian serupa lilin, menunjukkan kelemahan. Tetapi berusaha semaksimal dulu, baru menyerah.

Orang Eropa berkeyakinan bahwa manusia dapat memperoleh apa yang di kehendakinya dengan kemauan dan usahanya sendiri dan bila gagal, dalam usahanya, hat itu bukan karena qadha’ dan qadar Tuhan, tetapi karena salah perkiraan atau kurang dalam berfikir atau kurang kuat dalam usahanya[10].

D. Penutup

1. Kesimpulan

  1. Kedatangan Bonaparte di Mesir merupakan tonggak penting bagi kaum Muslim dan juga bagi bangsa Eropa.Bagi kaum Muslim, kedatangan itu membuka mata betapa tentara Eropa yang modern mampu menaklukkan dan menguasai jantung Islam. Bagi orang Eropa, kedatangan itu menyadarkan betapa mudah menaklukkan sebuah peradaban yang di masa silam begitu berjaya dan sulit ditaklukkan.

b. Sebab utama keterbelakangan kaum Muslim, menurut Tahtawi, ialah ketiadaan kebebasan itu. Ini sudah terjadi sejak kerajaan Islam di Baghdad (abad ke-12) dan Cordova (abad ke-15) runtuh. Sebaliknya, kebebasan berpikir yang dalam istilah agama dikenal dengan ijtihad justru dimusuhi dan diharamkan. Selama rentang abad ke-15-ke-19, wacana pemikiran Islam diwarnai dengan semangat menutup pintu ijtihad.

  1. Al Tahtawi adalah tokoh pemikir pembaharu generasi pertama di Mesir Abad XIX
  2. Nilai-nilai Islam yang tinggi, senantiasa bersemayam di dalam lubuk hatinya sebagai hasil studinya selama di Al Azhar. Nostalgia kejayaan sejarah Mesir kuno terungkap lagi oleh persentuhannya dengan ekspedisi Napoleon ke Mesir, dan pengayatannya terhadap peradaban dan kebudayaan serta kemajuan Barat selama dia di Perancis, dapat menimbutkan ide-ide pemikirarinya untuk memperbaharui bangsa Mesir dan keterbelakangan dan statis untuk melangkah maju terus menuju Mesir Barn yang modem, yang memiliki peradaban dan kebudayaan modern yang di jiwai dan dilandasi oleh agama, dengan segala aspeknya.
  3. Ide-ide pemikiran Al Tahtawi, di upayakan melalui:

1) Peningkatan pendidikan dengan melibatkan Iangsung berbagai pengajar, dan pimpinan di berbagai macam pendidikan, penterjemahan buku-buku pelajaran umum, dan perencanaan kurikulum.

2) Mengemukakan berbagai macam sejarah diantaranya (bidang pendidikan dan kesejahteraan), pendapat dan ide-idenya melalui karya-karya ilmiah dan brosur-brosur ilmiah yang bertujuan untuk mengenalkan kemajuan sains dan teknologi serta peradaban Barat.

f. Ide-idenya menjadi dasar dan motivasi gerakan pembaharuan umat Islam generasi berikutnya, terutama di Mesir.

b. Saran

Pernilis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah mi masih terdapat kekurangan dan kekeliruan maka diharapkan sumbangan pikiran yang Konstruktif dari pembaca untuk kesempumaan makalah mi.

E. KEPUSTAKAAN

Al Tahtawi, Rafa ‘a Bey Badawi Rafi’, Kitab Takhlish al Ibriz ila Talkhish Bariz. Mushtafa Fahmi, Kairo, 1905 / 1323 H

Encyclopedia Americana mc, The Encyclopedia Americana. V.19. Connecticut; Glorier Incorporated.

First Encyclopedia of Islam, A. Baba Beg, Leiden B. J. Bull. 1987

___________ Pembaharuan Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996

Najar, HF. Al, Rafa ‘ah Al Tahtawi, Dar at Mishriyah, Kairo, (t.th)

Hourani, Albert. Arabic Thought in The Liberal Age 1798 — 1939, Cambridge Univ. Press, Cambridge, 1961



[1] Al Tahtawi, Rafa ‘a Bey Badawi Rafi’, Kitab Takhlish al Ibriz ila Talkhish Bariz. Mushtafa Fahmi, Kairo, 1905 / 1323 H, h 1154

[2] First Encyclopedia of Islam, A. Baba Beg, Leiden B. J. Bull. 1987, h 1155

[3] Ibid . hal 43

[4] Hourani, Albert. Arabic Thought in The Liberal Age 1798 — 1939, Cambridge Univ. Press, Cambridge, 1961, hal 77-78

[5] [5] Harun. Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya. UI. Hal. 46

[6] Hourani, Albert. Arabic Thought in The Liberal Age 1798 — 1939, Cambridge Univ. Press, Cambridge, 1961, hal 72

[7] Harun. Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya. UI. Hal47

[8] Najar, HF. Al, Rafa ‘a!, Al Tahiawi, Dar al Mishriyah, Kairo, (t,th). Hal. 147 — 149

[9] Harun. Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya. UI. Hal. 44

[10] ibid: hal. 50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar